masukkan script iklan disini
Tanggerang.Liputan9online// Diduga pagar laut misterius di Tangerang, menarik perhatian publik mulai awal Januari 2025.
Pasalnya pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer itu sudah berlangsung mulai enam bulan lalu menjadi perhatian.
Sejak viral di media sosial, timbullah pertanyaan “Siapa yang membangunnya?” Hingga kini, lembaga pemerintah yang seharusnya memiliki otoritas untuk mengungkapkan hal tersebut.
Dalam hal ini diduga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum juga mengumumkan secara resmi.
Padahal Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Pung Nugroho Saksono pada 10 Januari 2025, mengaku telah mendapatkan petunjuk tentang pemilik pagar laut setelah melakukan wawancara dengan sejumlah nelayan.
Pagar laut yang terbentang dari Desa Muncung hingga Pakuhaji itu diketahui dibangun tanpa mendapatkan izin dari pemerintah pusat maupun daerah alias ilegal.
Pertanyaan selanjutnya pun kembali muncul, “Jika ilegal, mengapa dibiarkan hingga enam bulan?”
Pada Sabtu, 18 Januari 2025, Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) III Jakarta bersama warga sekitar mulai membongkar pagar laut misterius di perairan Tangerang.
Tetapi sehari setelahnya, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali mengumumkan menunda pembongkaran pagar laut dengan dalih untuk mengevaluasi penggunaan alat.
Pembongkaran pagar laut oleh TNI AL itu memang tidak disetujui oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono meminta pagar laut misterius itu jangan dibongkar dulu dengan alasan untuk memudahkan penyelidikan.
Di tengah desas-desus siapa dalang di balik pembangunan pagar laut Tangerang, tiba-tiba muncul komunitas Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang mengklaim bawah pagar laut tersebut dibuat oleh masyarakat setempat dengan dana hasil swadaya atau patungan warga.
Meski demikian, Koordinator JRP, Sandi Martapraja mengaku tidak tahu pasti berapa total biaya yang dihabiskan untuk membangun pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer itu.
Namun, pernyataan JRP mendapatkan penolakan dari Koalisi Rakyat Untuk Keadilan (KIARA).
Berdasarkan temuan dan pengamatan organisasinya, Sekjend KIARA Susan Herawati menilai pembangunan pagar laut Tangerang membutuhkan dana yang besar. Sehingga amat tidak mungkin dibangun oleh masyarakat atau nelayan lokal.
“Kita membutuhkan pengakuan jelas dan terang dari KKP bahwa ini mau ngapain (laut) dipagar?
Kita mau tahu, laut ini dipagar repot-repot sepanjang 30,16 kilometer dengan modal besar yang tidak mungkin dikeluarkan oleh nelayan, ini buat siapa? Ini adalah pemain besar,” kata Susan di Indonesia Lawyers Club, 18 Januari 2025.
Kepala Perwakilan Ombudsman Wilayah Banten, Fadli Afriadi mengungkapkan, masyarakat setempat melaporkan bahwa mereka disuruh memasang pagar bambu di laut Tangerang itu pada malam hari dan diberi uang Rp100.000 per orang. Namun, pihak yang memberi perintah hingga kini belum teridentifikasi.
Laporan terkait adanya pagar laut misterius ini, sebetulnya sudah diterima DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Provinsi Banten pada Agustus 2024.
Lalu di September 2024, DKP serta Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) bersama Kepolisian Khusus (Polsus) telah melakukan peninjauan ke lokasi, tetapi hingga saat ini tidak ada satu pun nama yang diumumkan sebagai aktor di balik pagar laut misterius Tangerang.
Kholid, selaku nelayan yang terdampak pagar laut Tangerang, mengatakan bahwa para nelayan sangat dirugikan dengan adanya pagar laut tersebut.
Kerugian itu sangat terasa ketika para nelayan kesulitan berlayar sebab mereka terpaksa harus menghindari pagar laut itu.
Ini membuat jarak tempuh menuju area penangkapan ikan lebih jauh sehingga bahan bakar yang diperlukan lebih banyak, tentu berimbas pada modal yang semakin membengkak.
Selain itu, Kholid mengatakan, perahu nelayan kerap kali terkena potongan bambu yang jatuh ke laut sehingga membuat perahu mereka bocor atau rusak, serta menyebabkan baling-baling perahu patah.
Ditambah lagi, jaring pukat para nelayan pun sering menjadi korban imbas tersangkut bambu-bambu yang memagari laut Tangerang.
Sejak enam bulan dipasangnya pagar laut bambu itu, hasil penangkapan ikan para nelayan juga berkurang drastis. Ombudsman RI pun menaksir kerugian yang dialami nelayan mencapai Rp 9 miliar.
Kerugian-kerugian yang disampaikan Kholid dan Ombudsman RI, selaras dengan temuan yang dikumpulkan oleh KIARA. Bahkan, Susan Herawati menyampaikan, ada kerugian lebih besar yang diterima oleh nelayan Tangerang yaitu para nelayan kehilangan akses dan kontrol atas ruang hidupnya.
Padahal, dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 3 tahun 2010 termaktub bahwa nelayan memiliki hak konstitusi berupa hak mengakses dan mengontrol ruang hidupnya, hak menjalankan tradisi nelayan yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi, serta hak mendapatkan perairan yang bersih dan sehat.
Dengan pemagaran laut tersebut, para nelayan kehilangan hak-hak yang seharusnya melekat pada mereka. Ini menunjukkan lembaga-lembaga otoritas yang mendiamkan pembangunan pagar laut selama lebih dari enam bulan, telah melanggar putusan konstitusi. Tentu, persoalan ini tidak bisa dianggap sepele.
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah mengadukan sejumlah terduga dalang di balik pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang ke Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, pada 17 Januari 2025.
Aduan dibuat bersama dengan 10 organisasi masyarakat sipil lainnya, termasuk WALHI dan KIARA.
Ketua Riset dan Advokasi Publik LBH PP Muhammadiyah Gufroni mengatakan dugaan itu didasarkan pada sebuah bukti video. Dalam video itu terlihat seorang pekerja sedang mengumpulkan bambu dan menyebut nama Agung Sedayu saat ditanya oleh seseorang dalam video.
Dalam dokumen yang disampaikan ke polisi, para pengadu mengajukan tujuh nama yakni Ali Hanafi Wijaya, Engcun alias Gojali, Mandor Memet, Kepala Desa Kohod Arsin, Sandi Martapraja, PT Agung Sedayu, dan Tarsin. Nama-nama ini erat kaitannya dengan proyek strategis nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (To).